Minggu, 08 April 2018

Dinasti Ayyubiyah Part II


Assalamualaikum sahabat blogger miracle islam J, kembali lagi di blog miracle islam. Seperti biasa, setiap bulannya admin akan memposting sejarah tentang peradaban-peradaban islam yang ada di dunia. Pada dua postingan sebelumnya, admin telah membahas sejarah tentang dinasti Ayyubiyah. Pada postingan kali ini, admin akan membahas lebih dalam tentang dinasti Ayyubiyah. Jadi, mari kita simak pembahasannya.

image from : www.slideshare.net


Seperti yang telah kita ketahui pada postingan sebelumnya, bahwa Salahuddin Al-Ayyubi merupakan pendiri sekaligus khalifah pertama yang memerintah dinasti Ayyubiyah. Pada saat Salahuddin Al-Ayyubi menjadi khalifah, terdapat banyak sekali tantangan yang dihadapi Salahuddin. Salah satunya adalah perang Salib yang mengakibatkan ribuan rakyat muslim dibantai secara sadis oleh pasukan salib. Untuk itulah setelah Salahuddin Al-Ayyubi menjadi khalifah, hal pertama yang ia lakukan adalah memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem. Salahuddin pun berangkat bersama pasukannya ke kota Yerussalem.  Saat ia dan pasukannya telah mendekati kota Yerussalem, Salahuddin memerintahkan agar seluruh pasukan Salib yang berada di dalam kota Yerussalem menyerah. Akan tetapi, perintah Salahuddin sama sekali tidak dihiraukan oleh pasukan Salib. Hal ini membuat Salahuddin berjanji untuk membalaskan dendam atas pembantaian ribuan warga muslim. Setelah Salahuddin dan pasukannya melakukan beberapa kali pengepungan di Yerussalem, semangat tempur pasukan salib mulai goyah. Kemudian, pasukan salib pun memohon perdamaian dengan Salahuddin. Permintaan damai pun diterima dengan senang hati oleh Salahuddin. Akhirnya Yerussalem dapat direbut kembali dan warga muslim dan non muslim hidup berdampingan dengan damai.

Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Dengan jatuhnya Yerusalem dalam kekuasaan kaum Muslimin, menimbulkan keprihatinan besar bagi kalangan tokoh-tokoh Kristen. Seluruh penguasa negeri Kristen di Eropa berusaha menggerakkan pasukan Salib lagi guna merenut kembali Yerussalem kedalam kekuassan umat kristen. Kemudian, Ribuan pasukan Kristen berbondong-bondong menuju Tyre untuk berjuang mengembalikan kekuasaan mereka yang hilang. Seluruh kekuatan salib berkumpul di Tyre, mereka segera bergerak mengepung Acre.

Mengetahui hal ini, Salahuddin segera menyusun strategi untuk menghadapi pasukan Salib. Strategi yang ia gunakan adalah strategi bertahan di dalam negeri, meskipun para amir (penasihat) Salahuddin menentang strategi yang ia terapkan. Akan tetapi, sesuai dengan dugaan para amir, Salahuddin mengambil strategi yang kurang tepat. Hal inilah yang membuat Salahuddin terdesak oleh pasukan Salib dan akhirnya Salahuddin mengajukan tawaran damai. Namun berbeda dengan sikap Salahuddin yang mau menerima permintaan damai pasukan kristen, pemimpin pasukan kristen yang tidak mempunyai balas budi ini menolak tawaran Salahuddin dan membantai pasukan muslim secara kejam.

Setelah berhasil meenguasai Acre, pasukan Salib kembali bergerak menuju Ascalon  yang dipimpin oleh Jenderal Richard. Bersama dengan pasukan Salib, Salahuddin sedang mengerahkan pasukannya ke Ascalon. Akan tetapi pasukan Salahudin tiba lebih awal. Ketika Jendral Richard tiba di Ascalon, ia mengetahui bahwa kota Ascalon sudah dikuasai pasukan Salahuddin. Jenderal Richard mengetahui bahwa ia dan pasukannya tidak mampu untu mengepung kota Ascalon lebih lama, Jenderal Richard memutuskan untuk mengirimkan delegasi perdamaian kepada Salahuddin. Atas kemurahan hati Salahuddin, ia pun menyetujui perdamaian tersebut dengan kesepakatan bahwa antara pihak muslim dan pasukan Salib tidak saling menyerang dan menjamin keamanan. Perjanjian damai yang menghasilkan kesepakatan di atas mengakhiri perang Salib ketiga.

Sebelum Salahuddin wafat pada tahun 1193, Salahuddin memberikan bagian dari Dinasti Ayyubiyah kepada berbagai anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, Al-Malik Al-Afdal, menguasai Damaskus dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz, menguasai Mesir, dan Al-Zahir menguasai Aleppo. Saudara Salahuddin, al-Adil, menguasai Irak dan Diyarbakr. Sementara itu keluarganya yang lain menguasai Hama, Balbek dan Yaman.

Setelah Salahuddin wafat, kendali Dinasti Ayyubiyah dipegang al-Aziz Imaduddin. Akan tetapi Al-Aziz berkonflik dengan saudaranya yaitu Al-Afdal, penguasa Damaskus. Jabatan Al-Afdal lalu diberikan kapada Al-Adil Syaifuddin Mahmud (saudara Salahuddin). Pada saat Al-Aziz wafat pada tahun 595H, kekuasaan Al-Aziz diberikan kepada putranya, Al-Mansur. Mengetahui wafatnya Al-Aziz, Al-Adil segera datang ke Mesir untuk mengalahkan dan melengserkan al-Manshur ibn al-Aziz yang pada saat ia menggatikan ayahnya, masih berusia belia dari kursi kesultanan. Pada tahun 615 H, Sultan al-Adil wafat dan digantikan oleh anaknya, Sultan al-Kamil. Pada masa awal kekuasaan al-Kamil, serangan Salib kelima dilancarkan guna memenuhi seruan Paus Innocent III. Serangan diarahkan ke Mesir. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, pasukan Salib bisa menguasai Dimyath. Dengan mengandalkan jumlah, pasukan Salib terus bergerak dan berniat menyerang Kairo pada 619 H. Akan tetapi pasukan muslim dapat mengambil posisi di sungai Nil untuk menutup jalan pasukan Salib. Hal ini diakibatkan kesalahan mereka dalam mengambil rute. Alhasil, pasukan Salib terkepung dan terpaksa mengajukan tawaran damai. Al-Kamil bersedia menerima, tapi dengan syarat mereka harus memberikan jaminan bahwa Dimyath kembali ke tangan umat Islam. Akhirnya kota Dimyath dapat direbut kembali.