Sabtu, 09 Desember 2017

Dinasti Buwaihi

 Assalamualaikum sahabat blogger miracle of islam, kembali lagi saya akan membahas tentang dinasti Islam lainnya. Seperti yang kita telah ketahui bahwa dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran pada abad ke-10 M tepatnya pada masa khalifah ke-20 Dinasti Abbasiyah yaitu Khalifah Ar-Radhi Billah yang berkuasa pada tahun 940-944 M, dimana pada masa kepempimpinanya kekuatan politik dan militer Adidaya dari dunia islam mulai melemah. Akibat kemunduran dinasti Abbasiyah ini, mulailah muncul dinasti-dinasti kecil akibat pemisahan wilayah yang tergabung dalam dinasti Abbasiyah. Akibat adanya pemisahan wilayah dari dinasti Abbasiyah, wilayah dinasti Abbasiyah semakin mengecil, selain munculnya dinasti kecil, berdiri pula kekhalifahan Fathimiyah yang terletak di Mesir dan kekhalifahan Ummayah yang berada di Andalusia (Spanyol). Karena kondisi inilah kemudian muncul dinasti Buwaihi yang bermazhab syi’ah yang berkuasa di wilayah Persia dan Irak yang masuk kedalam dinasti Abbasiyah dan mengendalikan roda pemerintahan. Pada masa dinasti Buwaihi, khalifah dinasti Abbasiyah hanya sebagai simbol persatuan saja, sedangkan roda pemerintahan dipegang oleh amir al-umara atau Perdana Menteri yang berasal dari dinasti Buwaihi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa khalifah hanya menjadi boneka dan tidak mempunyai kekuasaan untuk memerintah kerajaan. Sedangkan amir al-umara berkuasa penuh atas pemerintahan bahkan menentukan kebijakan yang menguntungkan dinasti Buwaihi. Menurut Professor Syafiq Mughni dalam Ensiklopedia Tematis Dunia Islam ; Khalifah mengatakan “Kegagalan kekhalifahan Abbasiyah untuk merekrut dan membayar militer selama separuh pertama abad ke- 4 H/10 M yang membuat dinasti itu mengendalikan dinasti Abbasiyah”.
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa Dinasti Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah pada awal abad ke-4 H. Pada awalnya, dinasti Buwaihi berasal dari tiga bersaudara yang bernama Ali bin Buwaihi, Al Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi. Ketiganya adalah putra dari orang yang bernama Buwaihi. Perlu diketahui bahwa Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam, yang kehidupan sehari-harinya bekerja sebagai Nelayan. Ketiga orang anaknya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya sebagai nelayan. Akan tetapi dikemudian hari mereka bertiga menjadi tentara. Keluarga Buwaihi terkenal dengan keberaniannya. Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu Suja’, yang memiliki arti bapak pemberani.

Anak tertua Buwaihi, yakni Ali bin Buwaihi diangkat menjadi komandan tentara karena keberaniannya dan kecakapannya sebagai seorang pemimpin. Setelah diangkat menjadi komandan tentara , Ali bin Buwaihi membawa kedua adiknya Al-Hasan dan Ahmad pindah dari negeri mereka ke ibu kota Daulah Abbasiyah, Baghdad. Sebelum Dinasti Buwaihi berkuasa di dalam Daulah Abbasiyah, orang-orang Turki lah yang menguasai Daulah Abbasiyah. Penguasa yang terakhir dari orang-orang Turki adalah Mardawij, pada masa inilah ketiga putra Buwaihi datang untuk bekerja di bawah pimpinan Mardawij. Oleh Mardawij mereka diterima dengan baik, karena mereka memiliki kecakapan yang tinggi dan ketiganya diangkat menjadi panglima untuk wilayah-wilayah yang luas, dan kepada mereka diberi gelar sultan.   
‘Ali bin Buwaihi yang merupakan putra Buwaihi tertua  diberi kekuasaan untuk seluruh wilayah Persia, Al-Hasan adik ‘Ali- diberi kekuasan untuk wilayah Ray,  Hamadzan dan Isfahân, sedangkan Ahmad bin Buwaihi  yang paling muda diberikan kekuasaan untuk wilayah Ahwaz dan Kirman. Pemberian kekuasaan ini tentunya memberikan peluang bagi Dinasti Buwaihi untuk mendapatkan kekuasaan lebih dikemudian hari. Terlebih lagi selain dipercaya menjadi penguasa wilayah, mereka juga merangkap menjadi panglima. Ahmad bin Buwaihi yang pada saat  itu ibu kota Baghdad berada dalam kekuasaannya selalu mencari peluang yang baik untuk menduduki Baghdad yang menjadi tempat kedudukan khalifah. Kota ini dikawal ketat oleh sejumlah pengawal yang dipimpin oleh Tauzon, seorang diktator militer yang bergelar Amîr al-Umarâ’. Pada masa khalifah al-Muttaqiy, Ahmad bin Buwaihi pernah diminta oleh khalifah datang ke Baghdad guna melindungi dirinya, karena pada waktu itu terjadi keretakan hubungan antara khalifah dengan Tauzon. Pada tahun 332 H ia berangkat menuju Baghdad, namun sebelum masuk kota itu ia dicegat oleh Tauzon, sehingga ia gagal masuk ke sana.
Pada tahun 334 H Tauzon meninggal dunia, sedangkan wakilnya yang bernama Ibn Syairazad sedang berada di luar kota Baghdad. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ahmad ibn Buwaihi untuk memasuki Baghdad, kehadirannya diterima baik oleh Khalifah al-Mustakfiy yang ketika itu menghadapi bahaya besar dari orang-orang Turki. Dalam kondisi ini yang terbaik baginya adalah meminta perlindungan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang terkenal gagah dan berani dengan cara mengangkatnya sebagai penguasa atas nama khalifah. Sehingga orang-orang Turki yang dianggap berbahaya tidak berpeluang merebut kedudukan khalifah. Sebagai penghargaan terhadap keluarga Buwaihi, khalifah memberikan gelar kepada Ahmad bin Buwaihi dengan Mu’îz al-Daulah, kepada Ali bin Buwaihi dengan Imâd al-Daulah dan kepada Hasan bin Buwaihi dengan Rukn al-Daulah. Mulai saat itu resmilah keluarga Buwaihi sebagai pemegang kekuasaan dalam Daulah Abbasiyah. Selanjutnya kekuasaan dipegang secara turun temurun oleh keluarga ini hingga mereka dijatuhkan oleh Bani Saljuk pada tahun 447 H/ 1055 M.


Selama dinasti Buwaihi berdiri, terdapat sebelas khalifah yang pernah memimpin dinasti Buwaihi, berikut ini nama-nama khalifah dinasti Buwaihi :
1.      Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’îz al-Daulah) tahun 334-356 H
2.      Bakhtiar (’Îzz al-Daulah) tahun 356-367 H
3.      Abu Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4.      Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5.      Abu al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H
6.      Abu Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H
7.      Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8.      Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9.      Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10.  Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11.  Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H


Hancurnya dinasti Buwaihi
Peperangan antara Baha’, Syaraf dan saudara ketiga mereka, Shamsham Al Dawlah, juga pertikaian antar anggota-anggota kerajaan untuk menentukan penerus mereka serta fakta bahwa Buwaihi berkecenderungan Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-orang Baghdad yang Sunni, menjadi sebab-sebab penting bagi keruntuhan dinasti Buwaihi. Pada tahun 1055, Raja Saljuk yang bernama Thughril Beg memasuki Baghdad dan megakhiri riwayat kekuasaan Buwaihi. Raja yang terakhir dari dinasti ini di Irak yang bernama Al Malik Al RAhim (1048-1055), mengakhiri hidupnya dalam kurungan.