Jumat, 09 Maret 2018

Dinasti Delhi Part I


Assalamualaikum sahabat blogger miracle of islam J, kembali lagi di blog kami, yang akan mengupas tuntas sejarah-sejarah peradaban islam didunia. Jika kemarin kami telah membahas dinasti Ayyubiyah, kali ini blog miracle of islam akan membahas salah satu dinasti yang terletak di India. Dinasti itu adalah dinasti Delhi, yang merupakan kerajaan islam pertama di India. Awal permulaan tegaknya islam di India tentunya tidak terlepas dari pengaruh kesultanan Delhi pada tahun 1206M. Nama kesultanan Delhi, diambil berdasarkan nama kota di bagian utara India yang menjadi ibu kota dinasti Delhi, yaitu kota Delhi. Tidak seperti kebanyakan dinasti Islam yang pada umumnya runtuh dengan berakhirnya keturunan para pendirinya, kesultanan Delhi berakhir setelah mengalami lima kali pergantian kepemimpinan lima dinasti. Lima dinasti tersebut adalah Dinasti Mamluk, Dinasti Khalji, Dinasti Tughlaq, Dinasti Sayyid, dan Dinasti Lodi.
1.      Dinasti Mamluk - Pemerintahan Awal Kesultanan Delhi
A.    Quthb al-Din al-Aybak (1206-1210)
Ketika Mu’izzuddin terbunuh, Quthb al-Din al-Aybak berada di Delhi. Kemudian ia menjadi pengganti Mu’izzuddin dalam memerintah India utara yang dipusatkan di Delhi. Mu’izzuddin tidak hanya membebaskannya dari perbudakan tapi juga memberikan kekuasaan kesultanan padanya. Akan tetapi selama empat tahun masa pemerintahannya ditandai dengan perjuangan melawan Yildiz, penguasa Turki di Ghazna dan Qabacha, penguasa Sind dan Multan. Selain itu Aybak juga melawan pemberontakan raja-raja Hindu yang menentang kekuasaan muslim di India. Kematian Aybk yang tiba-tiba pada tahun 1210 M mengakhiri karirnya yang menjanjikan. Meskipun begitu, perannya sebagai letnan di masa kepemerintahan Mu’izuddin Ghuri, juga dalam mempertahankan kekuasaan Islam di India memposisikannya di tempat paling penting dalam sejarah Kesultanan Delhi. Setelah meninggalnya Aybak, Aram shah yang merupakan putra dari Aybak diangkat menjadi Sultan. Akan tetapi akibat ketidakmampuannya dalam menata Negara, mengharuskan para pembesar istana Delhi mengangkat seorang raja bernama Iltumish yang juga mantan budak. Dia adalah menantu Aybak yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Badaun. Kecakapannya dalam dunia perpolitikan dan membesarkan negara menjadikannya sebagai orang yang berpengaruh dan paling berjasa sepanjang kesultanan Delhi.


B.     Sultan Iltumish (1211-1236 M)
Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa sultan Iltutmish naik tahta Delhi, saat kesultanan berada dalam posisi sulit dan tidak stabil akibat ketidakcakapan Aram Shah. Selain itu sikap menentang dari para jendral senior rekan Aybak seperti Qabacha dan Yildiz dan juga perlawanan dari para penguasa Hindu. Akan tetapi, hal yang paling mengancam diantara semuanya adalah kekuatan besar yang tumbuh dari Chinggisid Mongol di Perbatasan Utara-Barat. Bangsa Khalji di Bengal dan Bihar juga menarik dukungan mereka. Namun, semua hal itu tidak membuat sultan Iltumish gentar. Dengan  keberaniannya yang besar, kecerdasannya dalam mengatur strategi dan pemanfaatan waktu membuatnya dapat menghadapi semua kesulitan dan menangani berbagai masalah. Dia mampu mengecam balik sikap permusuhan para jenderal Turki; membungkam perlawanan Hindu; membangun kembali kekuasaannya di provinsi-provinsi timur, juga menyelamatkan kerajaannya dari serangan pasukan Mongol. 
Iltutmish adalah penguasa berdaulat pertama Delhi dan dianggap sebagai pendiri Kesultanan Delhi. Dia dianugrahi penghargaan untuk jasanya menciptakan fondasi negara yang tahan lama, mengorganisir administrasi dan mengembangkan kebijakan politik dasar negarawan. Pada tahun 1229 M, Al-Mustanshir, khalifah Abbasiah di Baghdad, memberikan mandat otoritas kepada Iltutmish. Hal ini membuat Kesultanan Delhi diakui secara legal pun moral di mata penguasa Muslim ortodoks. Iltutmish juga menjaga hubungan baiknya dengan ulama dan mashayikh sehingga ia diterima dan mendapat legitimasi bagi kesultanannya yang baru. Sebelum wafat, Iltumish menunjuk putrinya, Razia sebagai pengganti disebabkan semua anak laki-lakinya tidak punya kemampuan untuk mengatur negara. Wasiat ini ditolak oleh para pembesar istana yang keberatan dengan sultan perempuan. Sehingga, saudaranya Rukunuddin Firuz diangkat sebagai sultan. Asumsi Iltumish terbukti, Rakunuddin tidak mampu memimpin kesultanan. Razia diangkat kembali menjadi seorang penguasa di Delhi. Dia adalah penguasa perempuan pertama dalam sejarah Islam. Pengangkatan ini memicu pemberontakan di mana-mana yang menolak sultan perempuan pada tahun 1240 M, disamping itu Sultanah Razia pun tidak memperoleh restu dari khalifah Abbasiah di Baghdad. Razia jatuh dan digantikan oleh saudara laki-lakinya, Bahram Shah. Sama halnya seperti Rukunuddin, Bahram pun tidak mampu memimpin. Selama kepemimpinan putra dan putri Iltumish yang tak meyakinkan ini, memberikan kesempatan pasukan Mongol menekan perbatasan, sehingga Lahore dan Multan menjadi sasaran penyerangan. Gubernur-gubernur di provinsi juga memiliki kesempatan memperluas otonomi mereka sedangkan para penguasa Hindu, khususnya Rajput, menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan.
Pada tahun 1246 M pemerintahan diambil alih oleh Nasiruddin Mahmud yang yang terkenal dengan kesalehan, kesederhanaannya dan paling baik pribadinya diantara para penguasa abad ke-12 M. Konon, Nasiruddin tidak pernah menerima satu sen pun uang negara sebagai gajinya. Dikarenakan Nasirudin tidak dianugrahi seorang putra, maka ia digantikan oleh Ghiasuddin Balban seorang mantan budak dari Sultan Iltumish.
C.     Ghiatsuddin Balban (1266-1287)
 Salah satu perkembangan penting pada periode pasca-Iltutmish adalah keberadaan sekelompok bangsawan yang dikenal dengan nama Ghulaman Chihilgani yang kesemuanya adalah budak Iltumish. Kira-kira arti dari nama tersebut adalah komandan budak yang membawahi empat puluh budak. Kelompok ini mendominasi lapangan dan memegang komisi kekuasaan selama tiga puluh tahun sehingga keberadaan sultan hanyalah sebagai pimpinan boneka saja. Sosok terkuat dan paling mendominasi diantara kelompok ini adalah Ghiasuddin Balban. Dia telah memperoleh kekuasaan yang cukup besar bahkan sebelum aksesi Sultan Nasiruddin Mahmud, penguasa terakhir dari garis keluarga Iltutmish. Tak lama setelah aksesi Nasiruddin Mahmud, Balban dianggap sebagai na’ib al-mamlakat (raja muda), yang mengakibatkan pengaruh bayangan sebagai wali mengurangi kekuasaan sultan. Selama dua dekade Balban mengemudikan negara sebagai na’ib al-mamlakat, Balban berusaha membendung kekacauan dekade anarki (1236-1246). Setelah menjabat posisi tertinggi kesultanan, Balban meyakini bahwa kelemahan mahkota terletak pada akar semua penyakit negara. Gagasan tentang monarki, pemerintahan dan agama, terungkap dalam pidato-pidatonya kepada putra-putranya dan para bangsawan, yang seringkali disebut sebagai ‘teori politik’ nya. Berbagai elemen pemikirannya, meskipun tidak rumit atau cukup komprehensif untuk dipertimbangkan sebagai sebuah teori, tetap masuk akal.  Balban menampilkan kekuatan besar dan kekejaman dalam menghancurkan rival politik, pemberontak, menghukum gubernur dan kepala daerah yang keras kepala.
Balban terkenal akan kediktatorannya, baginya the blood iron policy untuk keamanan dan penegakan hukum Allah di negerinya. Sepeninggal sultan Balban, beliau digantikan cucunya Kaikobad (1287-1289 M) yang bergelar Mu’izzuddin. Sultan muda ini lebih suka berfoya-foya dan tidak berpengalaman dalam hal administrasi negara sehingga segera kehilangan semua kendali urusan negara. Melihat itu, para pembesar istana pun bersekongkol mengkudetanya lalu menggantikannya dengan putranya, Kaimus (1289 M) yang baru berusia tiga tahun, agar pemerintahan tidak keluar dari garis keturunan Balban.  Kepemimpinan Sultan Kaimus tidak menjanjikan harapan bagi keberlangsungan Dinasti Mamluk, hingga berakhir di tangan klan Khalji dengan tampuk kepemimpinan dipegang oleh Jalaluddin Firuz yang berhasil melepaskan Kesultanan Delhi dari pengaruh bangsawan Turki.