Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa Dinasti
Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah pada awal abad ke-4 H. Pada awalnya,
dinasti Buwaihi berasal dari tiga bersaudara yang bernama Ali bin Buwaihi, Al
Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi. Ketiganya adalah putra dari orang yang
bernama Buwaihi. Perlu diketahui bahwa Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin
yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam, yang kehidupan sehari-harinya bekerja
sebagai Nelayan. Ketiga orang anaknya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan
sehari-hari ayahnya sebagai nelayan. Akan tetapi dikemudian hari mereka bertiga
menjadi tentara. Keluarga Buwaihi terkenal dengan keberaniannya. Watak
keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu
Suja’, yang memiliki arti bapak pemberani.
Anak tertua Buwaihi, yakni Ali bin Buwaihi diangkat
menjadi komandan tentara karena keberaniannya dan kecakapannya sebagai seorang
pemimpin. Setelah diangkat menjadi komandan tentara , Ali bin Buwaihi membawa
kedua adiknya Al-Hasan dan Ahmad pindah dari negeri mereka ke ibu kota Daulah
Abbasiyah, Baghdad. Sebelum Dinasti Buwaihi berkuasa di dalam Daulah Abbasiyah,
orang-orang Turki lah yang menguasai Daulah Abbasiyah. Penguasa yang terakhir
dari orang-orang Turki adalah Mardawij, pada masa inilah ketiga putra Buwaihi
datang untuk bekerja di bawah pimpinan Mardawij. Oleh Mardawij mereka diterima
dengan baik, karena mereka memiliki kecakapan yang tinggi dan ketiganya
diangkat menjadi panglima untuk wilayah-wilayah yang luas, dan kepada mereka
diberi gelar sultan.
‘Ali bin Buwaihi yang merupakan putra Buwaihi tertua diberi kekuasaan untuk seluruh wilayah Persia,
Al-Hasan adik ‘Ali- diberi kekuasan untuk wilayah Ray, Hamadzan dan Isfahân, sedangkan Ahmad bin
Buwaihi yang paling muda diberikan
kekuasaan untuk wilayah Ahwaz dan Kirman. Pemberian kekuasaan ini tentunya
memberikan peluang bagi Dinasti Buwaihi untuk mendapatkan kekuasaan lebih
dikemudian hari. Terlebih lagi selain dipercaya menjadi penguasa wilayah,
mereka juga merangkap menjadi panglima. Ahmad bin Buwaihi yang pada saat itu ibu kota Baghdad berada dalam kekuasaannya
selalu mencari peluang yang baik untuk menduduki Baghdad yang menjadi tempat
kedudukan khalifah. Kota ini dikawal ketat oleh sejumlah pengawal yang dipimpin
oleh Tauzon, seorang diktator militer yang bergelar Amîr al-Umarâ’. Pada masa khalifah al-Muttaqiy, Ahmad bin Buwaihi
pernah diminta oleh khalifah datang ke Baghdad guna melindungi dirinya, karena
pada waktu itu terjadi keretakan hubungan antara khalifah dengan Tauzon. Pada
tahun 332 H ia berangkat menuju Baghdad, namun sebelum masuk kota itu ia
dicegat oleh Tauzon, sehingga ia gagal masuk ke sana.
Pada tahun 334 H Tauzon meninggal dunia, sedangkan
wakilnya yang bernama Ibn Syairazad sedang berada di luar kota Baghdad.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ahmad ibn Buwaihi untuk memasuki Baghdad,
kehadirannya diterima baik oleh Khalifah al-Mustakfiy yang ketika itu
menghadapi bahaya besar dari orang-orang Turki. Dalam kondisi ini yang terbaik
baginya adalah meminta perlindungan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang terkenal
gagah dan berani dengan cara mengangkatnya sebagai penguasa atas nama khalifah.
Sehingga orang-orang Turki yang dianggap berbahaya tidak berpeluang merebut
kedudukan khalifah. Sebagai penghargaan terhadap keluarga Buwaihi, khalifah
memberikan gelar kepada Ahmad bin Buwaihi dengan Mu’îz al-Daulah, kepada Ali bin Buwaihi dengan Imâd al-Daulah dan kepada Hasan bin Buwaihi dengan Rukn al-Daulah. Mulai saat itu resmilah
keluarga Buwaihi sebagai pemegang kekuasaan dalam Daulah Abbasiyah. Selanjutnya
kekuasaan dipegang secara turun temurun oleh keluarga ini hingga mereka
dijatuhkan oleh Bani Saljuk pada tahun 447 H/ 1055 M.
Selama dinasti Buwaihi berdiri, terdapat sebelas
khalifah yang pernah memimpin dinasti Buwaihi, berikut ini nama-nama khalifah
dinasti Buwaihi :
1. Ahmad
Ibn Buwaihi (Mu’îz al-Daulah) tahun 334-356 H
2.
Bakhtiar (’Îzz al-Daulah) tahun 356-367 H
3. Abu
Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4. Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham
al-Daulah) tahun 372-376 H
5. Abu
al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H
6. Abu
Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H
7. Abu
Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8. Musyrif
al-Daulah tahun 411-416 H
9. Abu
Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10. Abu
Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11. Abu Nashr
(’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H
Hancurnya dinasti Buwaihi
Peperangan antara Baha’, Syaraf dan saudara ketiga
mereka, Shamsham Al Dawlah, juga pertikaian antar anggota-anggota kerajaan
untuk menentukan penerus mereka serta fakta bahwa Buwaihi berkecenderungan
Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-orang Baghdad yang Sunni, menjadi
sebab-sebab penting bagi keruntuhan dinasti Buwaihi. Pada tahun 1055, Raja
Saljuk yang bernama Thughril Beg memasuki Baghdad dan megakhiri riwayat
kekuasaan Buwaihi. Raja yang terakhir dari dinasti ini di Irak yang bernama Al
Malik Al RAhim (1048-1055), mengakhiri hidupnya dalam kurungan.