Assalamualaikum sahabat blogger
miracle islam J, kembali lagi di blog miracle
islam. Seperti biasa, setiap bulannya admin akan memposting sejarah tentang
peradaban-peradaban islam yang ada di dunia. Pada dua postingan sebelumnya,
admin telah membahas sejarah tentang dinasti Ayyubiyah. Pada postingan kali
ini, admin akan membahas lebih dalam tentang dinasti Ayyubiyah. Jadi, mari kita
simak pembahasannya.
image from : www.slideshare.net |
Seperti yang telah kita ketahui
pada postingan sebelumnya, bahwa Salahuddin Al-Ayyubi merupakan pendiri
sekaligus khalifah pertama yang memerintah dinasti Ayyubiyah. Pada saat
Salahuddin Al-Ayyubi menjadi khalifah, terdapat banyak sekali tantangan yang dihadapi
Salahuddin. Salah satunya adalah perang Salib yang mengakibatkan ribuan rakyat
muslim dibantai secara sadis oleh pasukan salib. Untuk itulah setelah
Salahuddin Al-Ayyubi menjadi khalifah, hal pertama yang ia lakukan adalah
memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem. Salahuddin pun berangkat
bersama pasukannya ke kota Yerussalem. Saat
ia dan pasukannya telah mendekati kota Yerussalem, Salahuddin memerintahkan agar
seluruh pasukan Salib yang berada di dalam kota Yerussalem menyerah. Akan
tetapi, perintah Salahuddin sama sekali tidak dihiraukan oleh pasukan Salib. Hal
ini membuat Salahuddin berjanji untuk membalaskan dendam atas pembantaian
ribuan warga muslim. Setelah Salahuddin dan pasukannya melakukan beberapa kali
pengepungan di Yerussalem, semangat tempur pasukan salib mulai goyah. Kemudian,
pasukan salib pun memohon perdamaian dengan Salahuddin. Permintaan damai pun
diterima dengan senang hati oleh Salahuddin. Akhirnya Yerussalem dapat direbut
kembali dan warga muslim dan non muslim hidup berdampingan dengan damai.
Akan tetapi hal itu tidak
berlangsung lama. Dengan jatuhnya Yerusalem dalam kekuasaan kaum Muslimin,
menimbulkan keprihatinan besar bagi kalangan tokoh-tokoh Kristen. Seluruh
penguasa negeri Kristen di Eropa berusaha menggerakkan pasukan Salib lagi guna
merenut kembali Yerussalem kedalam kekuassan umat kristen. Kemudian, Ribuan
pasukan Kristen berbondong-bondong menuju Tyre untuk berjuang mengembalikan
kekuasaan mereka yang hilang. Seluruh kekuatan salib berkumpul di Tyre, mereka
segera bergerak mengepung Acre.
Mengetahui hal ini, Salahuddin
segera menyusun strategi untuk menghadapi pasukan Salib. Strategi yang ia
gunakan adalah strategi bertahan di dalam negeri, meskipun para amir
(penasihat) Salahuddin menentang strategi yang ia terapkan. Akan tetapi, sesuai
dengan dugaan para amir, Salahuddin mengambil strategi yang kurang tepat. Hal
inilah yang membuat Salahuddin terdesak oleh pasukan Salib dan akhirnya
Salahuddin mengajukan tawaran damai. Namun berbeda dengan sikap Salahuddin yang
mau menerima permintaan damai pasukan kristen, pemimpin pasukan kristen yang
tidak mempunyai balas budi ini menolak tawaran Salahuddin dan membantai pasukan
muslim secara kejam.
Setelah berhasil meenguasai Acre,
pasukan Salib kembali bergerak menuju Ascalon yang dipimpin oleh Jenderal Richard. Bersama
dengan pasukan Salib, Salahuddin sedang mengerahkan pasukannya ke Ascalon. Akan
tetapi pasukan Salahudin tiba lebih awal. Ketika Jendral Richard tiba di
Ascalon, ia mengetahui bahwa kota Ascalon sudah dikuasai pasukan Salahuddin. Jenderal
Richard mengetahui bahwa ia dan pasukannya tidak mampu untu mengepung kota
Ascalon lebih lama, Jenderal Richard memutuskan untuk mengirimkan delegasi
perdamaian kepada Salahuddin. Atas kemurahan hati Salahuddin, ia pun menyetujui
perdamaian tersebut dengan kesepakatan bahwa antara pihak muslim dan pasukan
Salib tidak saling menyerang dan menjamin keamanan. Perjanjian damai yang
menghasilkan kesepakatan di atas mengakhiri perang Salib ketiga.
Sebelum Salahuddin wafat pada tahun
1193, Salahuddin memberikan bagian dari Dinasti Ayyubiyah kepada berbagai
anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, Al-Malik Al-Afdal, menguasai Damaskus
dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz, menguasai Mesir, dan Al-Zahir
menguasai Aleppo. Saudara Salahuddin, al-Adil, menguasai Irak dan Diyarbakr.
Sementara itu keluarganya yang lain menguasai Hama, Balbek dan Yaman.
Setelah Salahuddin wafat, kendali
Dinasti Ayyubiyah dipegang al-Aziz Imaduddin. Akan tetapi Al-Aziz berkonflik
dengan saudaranya yaitu Al-Afdal, penguasa Damaskus. Jabatan Al-Afdal lalu
diberikan kapada Al-Adil Syaifuddin Mahmud (saudara Salahuddin). Pada saat
Al-Aziz wafat pada tahun 595H, kekuasaan Al-Aziz diberikan kepada putranya,
Al-Mansur. Mengetahui wafatnya Al-Aziz, Al-Adil segera datang ke Mesir untuk
mengalahkan dan melengserkan al-Manshur ibn al-Aziz yang pada saat ia
menggatikan ayahnya, masih berusia belia dari kursi kesultanan. Pada tahun 615
H, Sultan al-Adil wafat dan digantikan oleh anaknya, Sultan al-Kamil. Pada masa
awal kekuasaan al-Kamil, serangan Salib kelima dilancarkan guna memenuhi seruan
Paus Innocent III. Serangan diarahkan ke Mesir. Setelah mengalami pertempuran
yang sengit, pasukan Salib bisa menguasai Dimyath. Dengan mengandalkan jumlah,
pasukan Salib terus bergerak dan berniat menyerang Kairo pada 619 H. Akan
tetapi pasukan muslim dapat mengambil posisi di sungai Nil untuk menutup jalan
pasukan Salib. Hal ini diakibatkan kesalahan mereka dalam mengambil rute. Alhasil,
pasukan Salib terkepung dan terpaksa mengajukan tawaran damai. Al-Kamil
bersedia menerima, tapi dengan syarat mereka harus memberikan jaminan bahwa
Dimyath kembali ke tangan umat Islam. Akhirnya kota Dimyath dapat direbut
kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar