Assalamualaikum sahabat blog miracle islam 😊, kembali lagi dengan kami di blog yang membahas tentang sejarah-sejarah dinasti islam yang pernah berdiri dunia. Mungkin beberapa diantara kalian merasa bahwa buat apa kita belajar sejarah. Akan tetapi ternyata, dengan mempelajari sejarah, kita dapat menata masa depaj kita menjadi lebih baik, seperti yang dikatakan oleh presiden pertama kita, yaitu Ir. Soekarno. Beliau mengatakan JASMERAH yang merupakan singkatan jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Nah sahabat blog, kali ini kita akan mengupas tuntas sejarah dinasti islam yang bernama dinasti Ayyubiyah. Sesuai dengan namanya, dinasti ini di dirikan oleh Salahuddin Al-Ayyubi yang merupakan keturunan Kurdi dari Azerbaijan yang melakukan migrasi ke Irak. Salahuddin Al-Ayyubi lahir di Tikrit 532 H/1137 M dan meninggal 589 H/1193 M. Ia juga merupakan seorang sultan yang dikenal adil, toleran, pemurah, zuhud, dan qana’ah. Salahuddin Al-Ayubbi merupakan anak dari Najmuddin Ayyub, yang merupakan gubernur Tikrit yang selanjutnya pindah ke Moshul, lalu ke Damaskus. Setelah itu Najmuddin dan saudaranya Asaduddin Syirkuh menjadi panglima Nuruddin Mahmud atau dikenal dengan Nuruddin Zangi di Mesir. Setelah Asaduddin Syirkuh meninggal, ia digantikan oleh keponakannya yaitu Salahuddin al-Ayyubi. Dengan demikian, ia menjadi menteri untuk Khalifah al-Adid yang menganut Syiah dan dan wakil dari Nuruddin Mahmud yang beraliran Sunni.
Bagi para sobat yang pernah menonton film Kingdom Of Heaven, tentunya tidak akan asing mendengar nama Salahuddin Al-Ayyubi. Akan tetapi mungki bagi beberapa orang islam mungkin akan terasa asing mendengar dinasti Ayyubiyah, karena nama dinasti ini kalah tenar dengan nama sultan atau pendiri pertama mereka, yaitu Salahuddin Al-Ayyubi. Perlu diketahui bahwa, dinasti Ayyubiyah adalah sebuah daulah besar yang berbentuk dinasti atau kerajaan, berkuasa di Timur Tengah antara abad ke-12 sampai abad ke-13. Selain itu, dinasti Ayyubiyah juga dikenal sebagai dinasti penakluk dalam jihad. Mengapa dikatakan demikian? Hal ini dikarenakan dinasti Ayyubiyah sangat berperan dalam upaya mematahkan gempuran musuh dalam perang Salib. Apabila dinasti Ayyubiyah ini tidak berdiri, hampir dapat dipastikan Islam pasti akan tercerabut dari bumi Syam, Jazirah, Mesir dan Afrika Utara. Salahuddin Al-Ayyubi dapat menunjukkan eksistensinya sebagai Sultan sekaligus penakhluk yang cakap hingga dapat mendirikan Dinastinya sendiri. Sehingga kemampuannya dalam memimpin tidak perlu diragukan lagi. Kedudukannya sebagai seorang Sultan menandai bertambahnya tantangan yang harus ia hadapi. Perlu digaris bawahi pula, bahwa keberhasilannya dalam mendirikan dinastinya sendiri tidak terlepas dari peran Dinasti Zangkiyah yang telah mendidik Salahuddin sampai menjadi seorang tokoh pejuang panji Islam di timur tengah.
Semasa hidupnya, Salahuddin Al-Ayyubi memiliki dua ambisi besar. Kedua ambisi itu adalah :
1. Menggantikan Islam Syi'ah yang ada di Mesir, menjadi Islam Sunni
2. Memerangi orang-orang Franka dari perang suci (perang salib)
Berdirinya dinasti Ayyubiyah dibagi menjadi dua periode, yaitu
1. Penaklukan Dinasti Fathimiyah
Periode pertama merupakan penaklukan dinasti Fathimiyah. Penaklukan ini diawali akibat adanya konflik internal antara khalifah Fatimiyah yang terakhir, Al-Adid, dengan menterinya Sawar. Akhir dari konflik ini yaituSawar, berhasil menjatuhkan kekuasaan Al-Adid. Akan tetapi, dengan jatuhnya khalifah Al-Adid, justru membawa kebencian pihak lain yang juga mengincar kekuasaan. Pihak itu adalah Dirgham. Dirgham bersama pendukungnya berhasil menjatuhkan Sawar. Dengan jatuhnya Sawar, maka Dirgham diangkat menjadi Wazir sedangkan Sawar melarikan diri ke Syiria pada tahun 557 H/1163 M. Disana, Sawar meminta bantuan kepada Nuruddin Zanqi (Nuruddin Mahmud) yang merupakan penguasa Bani Saljuk di Syiria pada waktu itu, untuk merebut kedudukannya kembali. Ia berjanji jika usahanya berhasil, ia akan membayar upeti dan membagi hasil kepada Nuruddin Zanqi. Nuruddin Zanqi pun menerima kesepakatan tersebut. Kemudian Nuruddin memerintahkan panglima perangnya, Asaduddin Syirkuh untuk berangkat ke Mesir dan merebut kekuasaan Dirgham. Dengan bantuan ini Sawar berhasil menjadi wazir. Akan tetapi, setelah kedudukannya kembali, bak kacang lupa kulitnya, Sawar berusaha menghkianati perjanjiannya dengan Nuruddin Zanqi dan mengadakan konspirasi baru dengan Meric dalam upaya mengusir Asaduddin Syirkuh dari Mesir dengan janji yang sama. Usahanya pun berhasil mengusir Syirkuh. Akan tetapi, tindakan Sawar inilah yang membawa kehancuran bagi Dinasti Fatimiyah.
Bermula dari sini tentara salib menjarah Mesir. Nuruddin segera mengirim tentaranya ke Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Pada akhirnya, terjadilah pertempuran antara pihak Islam dan Salib untuk merebut Mesir. Pada 564 H/1169 M, Syirkuh dan pasukannya dapat mengalahkan tentara Salib sekaligus dapat menguasai Mesir dan diangkat sebagai wazir. Syirkuh memegang jabatan hanya selama dua bulan karena meninggal dunia dan jabatannya digantikan oleh keponakannya yaitu Salahuddin al-Ayyubi. Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564 H/1169 M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567 H/1171 M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah.
2. Perlawanan Terhadap Sultan Ismail Malik Syah
Periode kedua ini juga dikenal sebagai periode orang-orang Syiria (1174-1186). Periode ini dimulai dengan wafatnya Nuruddin Zanqi. Sepeninggalan Nuruddin Zanqi, posisi khalifah digantikan oleh anaknya yang bernama, Sultan Ismail Malik Syah yang pada saat diangkat menggantikan ayahnya masih berusia belia. Karena usianya yang masih belia inilah, membuat amir-amirnya saling berebut pengaruh yang menyebabkan timbulnya krisis politik internal. Kondisi demikian ini memudahkan bagi pasukan Salib untuk menyerang Damaskus dan menundukannya. Setelah beberapa lama tampillah Salahuddin berjuang mengamankan Damaskus dari pendudukan pasukan Salib. Lantaran hasutan Gumusytag, sang sultan belia Malik Syah menaruh kemarahan terhadap sikap Salahuddin ini sehingga menimbulkan konflik antara keduanya. Sultan Malik Syah menghasut masyarakat Alleppo berperang melawan Salahuddin, Kekuatan Malik Syah di Alleppo dikalahkan oleh pasukan Salahuddin. Merasa tidak ada pilihan lain, Sultan Malik Syah meminta bantuan pasukan Salib. Semenjak kemenangan melawan pasukan Salib di Alleppo ini, terbukalah jalan bagi tugas dan perjuangan Salahuddin di masa-masa mendatang sehingga ia berhasil mencapai kedudukan sultan. Semenjak tahun 578 H/1182 M, Kesultanan Saljuk di pusat mengakui kedudukan Salahuddin sebagai Sultan.
Sebagai Sultan yang pertama sekaligus pendiri dinasti, tantangan yang dihadapi Salahuddin pasca menjadi Sultan adalah memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem. Hal ini menjadi fokus pertama Salahuddin bukan tanpa alasan, dimana ribuan rakyat muslim dibantai oleh pasukan Salib-Kristen di Yerusallem. Pada saat Salahuddin mendekati kota Yerusallem, Salahuddin sempat menyampaikan perintah agar seluruh pasukan Salib di Yerussalem menyerah. Akan tetapi, perintah Salahuddin sama sekali tidak dihiraukan oleh pasukan salib. Hal ini membuat Salahuddin berjanji untuk membalas dendam atas pembantaian ribuan warga muslim. Setelah terjadi beberapa kali pengepungan, pasukan salib kehilangan semangat tempurnya dan memohon damai dengan Salahuddin. Karena kemurahan hati sang sultan permintaan damai pun diterima. Akhirnya Yerussalem dapat direbut kembali dan warga muslim dan non muslim hidup berdampingan dengan damai.
Dengan jatuhnya Yerusalem dalam kekuasaan kaum Muslimin, berdampak pada keprihatinan besar kalangan tokoh-tokoh Kristen. Seluruh penguasa negeri Kristen di Eropa berusaha menggerakkan pasukan Salib lagi. Ribuan pasukan Kristen berbondong-bondong menuju Tyre untuk berjuang mengembalikan kekuasaan mereka yang hilang. Seluruh kekuatan salib berkumpul di Tyre, mereka segera bergerak mengepung Acre. Melihat pergerakan tentara salib, tentunya Salahuddin tidak tinggal diam. Salahuddin segera menyusun strategi untuk menghadapi pasukan Salib. Sebagian besar para Amir menyarankan agar tidak menetapkan strategi bertahan di dalam negeri. Akan tetapi Salahuddin justru mengabaikan saran para amir dan mengambil sikap yang kurang tepat. Hal ini membuat Salahuddin terdesak dan kepayahan oleh pasukan Salib dan akhirnya Salahuddin mengajukan tawaran damai. Namun sang raja yang tidak mempunyai balas budi ini menolak tawaran Salahuddin dan membantai pasukan muslim secara kejam.
Setelah berhasil merebut Acre, pasukan Salib bergerak menuju Ascalon dipimpin oleh Richard. Bersama dengan itu, Salahuddin sedang mengarahkan operasi pasukannya dan tiba di Ascalon lebih awal. Ketika tiba di Ascalon, Richard mendapatkan kota ini sudah dikuasai pasukan Salahuddin. Merasa tidak berdaya mengepung kota ini, Richard mengirimkan delegasi perdamaian menghadap Salahuddin, atas kemurahan hati sang sultan tawaran damai tersebut diterima dengan kesepakatan bahwa antara pihak muslim dan pasukan Salib, wilayah kedua belah pihak saling tidak menyerang dan menjamin keamanan. Jadi perjanjian damai yang menghasilkan kesepakatan di atas mengakhiri perang Salib ketiga. Kemudian Salahuddin meninggal pada tahun 1193.
Sebelum wafat, Salahuddin memberikan berbagai bagian dari Dinasti Ayyubiyah kepada berbagai anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, al-Malik al-Afdal, menguasai Damaskus dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz, menguasai Mesir, dan al-Zahir menguasai Aleppo. Saudara Salahuddin, al-Adil, menguasai Irak dan Diyarbakr. Sementara itu keluarganya yang lain menguasai Hama, Balbek dan Yaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar